Ucapkan...

Ucapkan...

Kamis, 14 November 2013

'ILMU AL JARH WA AL TA'DIL (GAIAN 1)











A. Pengertian

Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan keadilan seseorang (Lisanul-Arab; kosa kata “Jaraha”). Sedangkan dalam istilah ahli hadis diartikan terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan keadilannya, dan merusak hafalan serta ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak. Dengan demikian, al-Tajrih dimaknai pemberian sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan riwayatnya menjadi lemah (dha`if), atau tidak riwayatnya diterima.
Al-‘Adlu secara bahasa adalah lurusnya jiwa merupakan lawan dari kata durhaka. Seseorang yang adil kesaksiannya diterima. Al-Ta`dil artinya mensucikannya dan membersihkannya. Sementara menurut istilah, al-‘Adlu didefinisikan orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan aklaknya, dan oleh karenanya diterima berita serta kesaksiannya - tentu apabila memenuhi syarat-syarat penyampaian hadis lainnya. Dengan demikian, al-Ta`dil adalah penandaan terhadap perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga mengemuka keadilannya dan diterima beritanya.
Ilmu Al-Jarh wa al-Ta`dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat dan bersihnya seorang penutur hadis dengan menggunakan kata-kata yang khusus, sekaligus menilai apakah riwayatnya diterima atau ditolak (Ushulul-Hadits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab Al-Jarh wa al-Ta`dil 3/1)[1]

B. Kegunaan Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil

Kegunaan ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil adalah untuk menetapkan apakah periwayatan seseorang dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang periwayat dinilai buruk oleh para ahli, maka riwayatnya harus ditolak, dan apabila seorang periwayat dipuji sebagai orang yang adil, maka riwayatnya diterima, sejauh syarat-syarat yang lainnya terpenuhi.

C. Rupa dan Jenis Perikeadaan Buruk Periwayat

Sifat, sikap dan perbuatan seorang periwayat hadis yang dipandang buruk oleh para ahli hadis diikhtisarkan menjadi lima saja, yaitu:
1. bid’ah (melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syari’at)
2. mukhalafah (riwayatnya menyelisihi riwayat lain yang memiliki maksud dan konteks sama dari penutur hadis lainnya yang berkualifikasi lebih tinggi)
3. ghalath (banyak keliru dan kacau dalam periwayatan)
4. majhul al-hal (tidak dikenal identitasnya)
5. da`wa bi al-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung).

D. Syarat Melakukan Penilaian

Para ahli hadis menetapkan syarat yang harus dipenuhi oleh para penilai perawi, di antaranya:
1. Berlaku amanah dan adil dalam menilai. Penilaian yang dilakukannya kepada siapa pun dilakukan apa adanya.
2. Eksploratif ketika membedah keadaan seorang rawi. Misalnya dengan menjelaskan sebab-sebab menurunnya daya ingat atau daya hafal seseorang. Selain itu, berkemampuan pula untuk membedakan sebab kelemahan seseorang, apakah karena faktor ke-`adalah-annya atau karena faktor ke-dhabith-annya .
3. Berpijak kuat pada etika cara penilaian, terlebih ketika memberikan penilaian negatif (tajrih) kepada seseorang. Misalnya, dengan mengungkapkan satu jenis kelemahan (aib) saja, apabila ternyata kelemahan itu dipandang cukup menginformasikan berbagai kelemahan lainyang terdapat pada diri orang tersebut.
4. Memberikan penilaian baik (ta`dil) secara global, sedangkan penilaian buruk (tajrih)-nya dilakukan secara terperinci. Tujuannya untuk memberikan informasi tentang sebab tertolaknya seorang perawi hadis, sehingga tidak merupakan upaya pembunuhan karakter terhadap seseorang.

E. Syarat-syarat Penilai (Mu`addil dan Mujarrih)

Seorang penilai disyaratkan merupakan:
1. Orang yang memiliki kapasitas ilmu dibidang al-Jarh wa al-Ta`dil.
2. Orang yang bertakwa kepada Allah.
3. Orang yang wara` (berhati-hati dalam bersikap dan bertindak).
4. Orang yang jujur.
5. Orang yang mampu melepaskan sikap fanatik dari dirinya terhadap madzhab atau ulama tertentu yang berakibat tidak obyektif dalam melakukan penilaian.
6. Orang yang mengetahui sebab-sebab kelemahan dan keunggulan seseorang.
7. Orang yang tidak dicela oleh orang lain yang terpercaya (tsiqah) – tidak majruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Flag Counter
free web site traffic and promotion
SEO Stats powered by MyPagerank.Net