Ucapkan...

Ucapkan...

Kamis, 14 November 2013

'ILMU AL JARH WA AL TA'DIL (BAGIAN 4)














J.          Hukum Melakukan Jarh dan Ta`dil

Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan Ta`dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang. Pandangan mereka atas dasar dalil-dalil berikut:
1. Sabda Rasulullah saw kepada seseorang:
”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah saw kepada Fathimah binti Qays yang menanyakan tentang Mu’awiyyah Ibn Abi Sufyan dan Abu Jahm yang bermaksud melamarnya :
”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).
Dua hadis di atas merupakan dalil al-Jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan. Adapun at-Ta`dil, di antaranya berdasarkan hadis :
3. Rasulullah saw bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid Ibn Walid, salah satu pedang di antara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan al-Jarh wa al-Ta`dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Apabila Jarh dalam persaksian saja dibolehkan, terlebih pada perawi hadis, bahkan memperkokoh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan al-Ta`dil dalam ilmu hadis mendapat perhatian demikian besar dari kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut atas Rasulullah saw:

سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ

Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadis kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka.[1]

Amr Ibn Ali Abu Hafsh mendengar Yahya Ibn Sa’id al-Qaththan berkata:

سَأَلْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ وَشُعْبَةَ وَمَالِكًا وَابْنَ عُيَيْنَةَ عَنْ الرَّجُلِ لَا يَكُونُ ثَبْتًا فِي الْحَدِيثِ فَيَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي عَنْهُ قَالُوا أَخْبِرْ عَنْهُ أَنَّهُ لَيْسَ بِثَبْتٍ

Aku bertanya kepada Sufyan al-Tsawry, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin Uyaynah tentang seseorang yang tidak kuat dalam hadis. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata: “Kabarkanlah tentang dirinya bahwa dia tidak kuat (dalam periwayatan hadis)!”.[2]

Abu Ishaq al-Fazariy berkata: “Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan kau tulis darinya apa pun yang diriwayatkannya dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin Ayyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka”.[3]

L.    Al-Jarh wa al-Ta`dil Pada Masa Sekarang

Menurut Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad ketika ditanya tentang al-Jarh wa al-Ta`dil, beliau berpendapat: “Al-Jarh wa al-Ta`dil harus ditegakkan melalui pengadilan, karena saksi dan penuduh memiliki orang yang akan membenarkan tuduhan sedangkan yang dituduh mengkritiknya dan mengatakan, ‘aku tidak menerima kesaksian saksi itu karena ia kadza wa kadza.’ al-Jarh wa al-Ta`dil (seharusnya) dilakukan di pengadilan (lembaga formal seperti Lajnah Daimah, pent.).
Adapun bersenang-senang dengan al-Jarh wa al-Ta`dil pada zaman ini dengan menyibukkan diri dalam menghajar orang dan membicarakan orang, maka hal ini kembali kepada orang yang memulainya dengan kerusakan. Seseorang yang dibutuhkan darinya adalah amal salihnya, sementara amal salihnya bukanlah sesuatu yang harus disebarkan kepada pihak lain. Rasulullah saw bersabda: “Tahukah kamu siapakah orang yang merugi itu (muflish)? Dia adalah orang yang datang pada hari pembalasan dengan salat, zakat, puasa dan haji sedangkan dia gegabah menghujat orang lain, menfitnah orang lain, menggunakan harta orang lain tanpa hak dan mencucurkan darah kaum muslimin serta memukulnya, maka kebajikannya akan terhitung sebagai ganjaran (orang yang dizaliminya), dan dosa-dosanya akan ditanggungnya dan dia akan dilempar ke dalam api neraka.” (Shahih Muslim (6251))

Syaikh  Abdul Muhsin al-Abbad mengisyaratkan bahwa pada masa sekarang ini al-Jarh wa al-Ta`dil telah diselewengkan dengan hanya menghujat dan menjelekan orang lain. Namun menurut penulis al-Jarh wa al-Ta`dil yang dilakukan para ustadz pada masa sekarang bisa dikatakan sebagai menceritakan kecacatan dan keadilan para rawi sebagai penjelas kepada masyarakat muslim, bukan untuk menghina para rawi yang lemah dan memuji dengan berlebihan orang-orang yang ‘adil, melainkan demi kejelasan hadis dan supaya kita bisa memilahhadis mana saja yang boleh diamalkan, serta meninggalkanhadis yang tergolong munkar. Hal itu dilakukan agar ajaran Islam benar-benar terjaga dari kerusakan, oleh karena itu penulis sependapat dengan apa yang dikatakan oleh imam Ahmad bin Hanbal, seperti yang telah diceritakan oleh Abdullah bin Ahmad berikut :
Telah berkata Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Abu Turab An-Nakhsyabiy datang kepada ayahku, maka ayahku berkata : si fulan dha`if, si fulan tsiqah, Abu Turab pun berkata: wahai Syaikh janganlah engkau berbuat ghibah (menjelek-jelekan) terhadap ulama, beliau lalu berpaling kepadanya dan berkata : celakalah engkau…ini adalah nasihat bukan ghibah (Ushul al-Hadits : 264).
Apalagi jika melihat pada apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakanhadis kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Untuk itu Al-Jarh wa al-Ta`dil pada zaman ini pun masih perlu dilakukan, dengan cara mentakhrijhadis terlebih dahulu, kemudian meneliti setiap perawi dan menjelaskan para rawi sesuai dengan yang telah diberitakan oleh para ahli al-Jarh wa al-Ta`dil dalam kitab-kitabnya.

M.     Dampak Al-Jarh wa al-Ta`dil terhadap Realibilitashadis

Apa yang telah dilakukan ulama ahli hadis dalam melakukan tajrih dan ta`dil adalah untuk menjaga dan memelihara kemurnian hadis itu sendiri, sehingga ajaran Islam pun tetap dalam kondisi terpelihara seperti apa yang telah Rasululllah Saw. laksanakan dan ajarkan kepada para sahabatnya. Hal ini pula yang akan menyebabkan terpisahnya antarahadis yang shahih darihadis yang dlaif, bahkanhadis maudlu pun akan terlihat jelas.
Dikatakan kepada Yahya bin Sa`id Al-Qaththan:”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkanhadisnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata: “Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah saw yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata: mengapa kamu mengambilhadis atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?” (al-`Ilal li al-Tirmidzi).


[1] Muslim, al-Shahih: Muqaddimah, I:23
[2] Muslim, ibid, I: 40
[3] Baqiyyah Ibn al-Walid sangat dikenal banyak melakukan tadlis dari para perawi dha`if.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Flag Counter
free web site traffic and promotion
SEO Stats powered by MyPagerank.Net