F. Cara Mengetahui Jarh dan Ta`dil
1. Penetapan Kelemahan Rawi Hadis
Penetapan cacatnya seorang rawi hadis dapat ditempuh dengan dua jalan, yakni:
a. Melalui informasi yang bersifat merata terkait kelemahan yang ada pada diri seorang rawi. Misalnya, seorang rawi yang sudah dikenal luas di masyarakat sebagai orang fasiq atau pendusta, maka menjadi tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah informasi tersebut sebagai jalan untuk menetapkan kelemahannya atau cacatnya.
b. Melalui informasi dari seseorang yang terpercaya (`adil) dan mengetahui sebab-sebab kelemahannya. Pendapat ini dipegangi oleh para ahli hadis, sementara itu menurut para ahli hukum Islam (fuqaha) sekurang-kurangnya berita tentang cacatnya seorang penutur hadis itu harus berasal dari dua orang laki-laki yang adil.
2. Penetapan Keunggulan Rawi Hadis
Sebagaimana penetapan terhadap kelemahan seorang rawi hadis, maka penetapan keunggulannya pun dapat diketahui melalui:
a. Popularitasnya (bi al-syuhrah) di kalangan ahli hadis sebagai orang yang adil atau unggul. Seperti keterkenalan Malik Ibn Anas, Sufyan al-Tsawry, Syu’bah Ibn Al-Hajjaj, Muhammad Ibn Idris al-Syafi`iy, Ahmad Ibn Hanbal, dan yang lainnya.
b. Pujian dari seorang yang adil (bi al-tazkiyah), yakni penilainnya kepada seseorang yang dipandangnya sebagai rawi yang adil dan unggul, padahal bisa jadi pada awalnya rawi tersebut belum terkenal sebagai rawi yang adil dan unggul.
Terkait dengan penetapan keunggulan seorang rawi melalui tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
i. Seorang rawi yang adil saja, demikian pendapat umumnya para muhadditsun. Artinya, tidak memerlukan penilaian dari banyak orang. Dalam pandangan mereka faktor jumlah tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Pendapat ini berbeda dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam pen-tazkiyah-an seorang rawi hadis.
ii. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, dengan mengabaikan aspek jender dan status sosialnya, selama orang tersebut mengetahui sebab-sebab yang dapat adilnya seorang rawi hadis.
G. Kontradiksi antara Jarh dan Ta`dil
Penilaian terhadap seorang penutur
hadis tidak selamanya satu. Seringkali ditemui adanya kontradiksi dalam
penilaian. Seorang penutur hadis selain mendapatkan Ta`dil (penandaan baik) dari para ulama semasanya,
ia juga mendapatkan tajrih (penandaan buruk) yang dapat mengurangi
kredibilitasnya sebagai seorang penutur hadis.
Untuk mengatasi kontradiksi
sebagaimana dimaksud, para ulama hadis membuat kaidah-kaidah sebagai berikut:
1.
Mempertegas atau memperkuat (ta’kid) kembali, mengenai pertentangan
tersebut, apakah memang benar-benar ada atau tidak.
2.
Mencari penyebab pertentangan tersebut, karena bisa jadi seorang perawi di
awal mendapatkan tajrih, lalu bertaubat dan mendapatkan Ta`dil
dari yang lainnya setelah melakukan pertaubatan. Mungkin juga si rawi hadis di
usia mudanya memiliki akurasi intelejensia yang tinggi berupa hapalan yang
sangat kuat, namun setelah berusia lanjut hapalannya agak berkurang, serta
hal-hal lainnya yang memungkinkan dilakukannya kompromi.
3.
Apabila jalan kompromi tidak dapat dilakukan, maka mayoritas ulama hadis
berpendapat bahwa tajrih didahulukan daripada Ta`dil, dengan
syarat tajrih-nya bersifat mufassar (dijelaskan). Kondisi ini
tetap diberlakukan meskipun yang menilai baik jumlahnya lebih banyak dari yang
menilai buruk. Hal ini berdasar dugaan kuat
bahwa yang melakukan penilaian buruk mengetahui hal-hal yang bersifat batini
(tersembunyi) yang tidak diketahui oleh orang yang memberi nilai baik.
Terkait dengan poin 3 di atas, ulama
hadis menetapkan syarat berikut:
a.
Tajrih yang disampaikan harus disertai
penjelasan dari mujarrih. Artinya, bila tajrih itu tidak disertai
penjelasan, maka Ta`dil-lah yang mesti didahulukan.
b.
Ta`dil yang bertentangan dengan tajrih
harus bersifat global dan mutlak.
Apabila mu`addil mampu memberikan penjelasan tentang tajrih yang
ditimpakan kepada seorang rawi, sementara rawi dimaksud telah bertaubat, maka tajrih-nya
dinyatakan batal oleh ta`dil tersebut.
H. Perbedaan Tingkat Para Perawi
Dalam melakukan pemeringkatan perawi
hadis, muhadditsun menggunakan ragam atribut sesuai dengan yang
diperlukan. Sebagaimana terbaca dalam berbagai kitab rijal hadis,
atribut atau sebutan yang dilekatkan kepada diri perawi bermacam jenis. Sebagai misal:
Di antara mereka ada yang digelari al-tsabt
(yang teguh), al-hafizh (penghafal kuat), al-wari` (bersikap
hati-hati), al-mutqin (yang teliti), al-naqid (yang kritis dalam
menganalisis hadis). Orang-orang yang mendapatkan predikat seperti ini tidak
diperselisihkan lagi kredibilitasnya, bahkan penilaian mereka terhadap perawi
lain dapat dijadikan pegangan dan hujjah (kekuatan bukti).
Di luar mereka ada pula orang yang
dinilai memiliki sifat al-`adl pada diri (dengan pengertiannya yang khas
sebagaimana dipahami oleh para pembelajar hadis), teguh dalam periwayatan,
jujur dan benar dalam penyampaian hadis-hadis, wara’ dalam beragama,
hafal dan teliti dalam hadis-hadisnya.
Penutur seperti ini adalah penutur yang ‘adil – selain pribadinya dapat
dipercaya – hadisnya pun bisa dijadikan hujjah.
Selain itu ada pula rawai yang shaduq,
wara’, shalih, ber-taqwa, dan tsabt, hanya saja
terkadang salah atau keliru dalam periwayatan. Untuk orang dengan predikat ini
para ulama kritik hadis masih dapat menerimanya dan hadis yang diriwayatkannya
pun masih dapat dijadikan hujjah.
Sedangkan mereka yang shaduq,
wara’, ber-taqwa, namun seringkali lalai, ragu, salah, keliru, dan
lupa, maka hadisnya boleh ditulis untuk kepentingan-kepentingan targhib
(memotivasi), tarhib (mengancama), kezuhudan, dan adab. Adapun terkait
dengan masalah halal dan haram, hadis mereka dinyatakan tertolak dan tidak
dapat digunakan.
Selanjutnya, orang yang tampak
darinya kebohongan, maka hadisnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang[1] (turika haditsuh wa thurihahu/matruk al-hadits wa al-mathruh).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar