Eksistensi dakwah dalam Islam
menduduki posisi yang strategis. Dakwah berfungsi sebagai upaya rekontruksi
masyarakat Muslim sesuai dengan cita-cita sosial Islam melalui pelembagaan
ajaran Islam
sebagai rahmat sejagat (rahmatan lil ‘alamin). Sosialisasi
Islam melalui dakwah diharapkan akan memungkin proses islamisasi
nilai-nilai sehingga dihayati dan diamalkan dalam kehidupan
individu, keluarga, masyarakat dan negara untuk kebahagiaan manusia dunia
dan akhirat. Pemahaman yang demikian menempatkan dakwah sebagai program besar
dan penting atau azmil umur (Q.S. Lukman [31]:17). Oleh
karena itu, aktivitas dakwah menunutut keterlibatan semua umat Islam dalam
berbagai profesi dan keahlian, termasuk para penguasa dan politikus.
Sejarah mencatat bahwa Islam pernah
berhasil membangun peradaban besar yang diakui oleh dunia dan Islam mampu
menjadi kekuatan dunia tidak terlepas dari pengaruh dakwah dan politik.
Peradaban Islam dari zaman Nabi Muhammad Saw. sampai hari ini tidak dapat
dipisahkan dari dua hal tersebut. Dapat dikatakan bahwa maju dan mundurnya
masyarakat Islam sangat dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya dakwah dan politik
Islam. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Islam, persoalan dakwah dan
politik telah menjadi perhatian serius. Sebagian ulama menganggap bahwa dakwah
dan politik tidak boleh dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Islam, sedangkan
yang lain berpandangan bahwa dakwah dan politik adalah hal sangat berlawanan
dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya.
Perbedaan pandangan tersebut masih
sering kali kita jumpai di tengah-tengah masyarakat hingga saat ini. Pendapat,
pikiran dan prasangka negatif ditujukan khususnya kepada politik yang dianggap
sesuatu yang tidak banyak memberikan kemaslahatan ditengah-tengah masyarakat.
Pada sisi lain dakwah diposisikan sebagai kegiatan suci yang merupakan warisan
para nabi dan tidak boleh bercampur baur dengan politik. Fenomena tersebut
sudah sekian lama tertanam dalam benak masyarakat kita, sehingga sedikit sekali
orang berbicara tentang politik dan Islam, kecuali ia memisahkan antara
keduanya dan diletakkan masing-masing secara independen. Keduanya tidak mungkin
bersatu dan dipertemukan. Pada sisi lain sebahagian organisasi Islam yang
bergerak dalam aktivitas dakwah dengan tegas mencatumkan bahwa organisasi
tersebut tidak berpolitik. Namun dalam prakteknya selalu bersentuhan dan
berdimensi politik.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa
sebagian masyarakat kurang memamahi hubungan fungsional antara dakwah dan
politik dalam ranah keagamaan. Umumnya masyarakat menganggap bahwa dakwah
tidak boleh dicampuri oleh politik, dan politik tidak boleh mengatasnamakan
dakwah. Diskursus tersebut terkesan bahwa politik merupakan sebuah sesuatu yang
kotor, penuh kemunafikan, tipu muslihat, kelicikan dan menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan. Tokoh-tokoh politik hanya dekat dengan rakyat menjelang
pemilihan umum (PEMILU). Sementara dakwah diposisikan sebagai kegiatan mulia
untuk memberikan petunjuk kehidupan sesuai dengan tuntunan agama, sehingga
dakwah tidak dapat disandingkan dengan politik.
Pemahaman seperti itu adalah sesuatu
yang wajar karena didasarkan pada pengalaman yang ada. Secara
realitas pentas politik memang selalu diwarnai dengan tontonan yang
bersifat negatif dalam pandangan masyarakat. Sementara aktivitas dan
topik dakwah tidak banyak menyentuh ranah politik. Dakwah lebih banyak
membicara aspek ibadah, halal-haram dan surga-neraka, kalau bukan hal-hal yang
bersifat perbedaan paham dalam beribadah. Dakwah dalam
buhungannya dengan aspek politik cenderung terabaikan. Sedangkan Islam
sebagaimana yang telah disebutkan di atas murupakan ajaran universal yang
menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan perkataan lain, Islam
sebuah sistem universal yang lengkap dan mencakup seluruh aspek hidup dan
kehidupan.
Sesungguhnya dakwah dan politik
dalam praktek kehidupan sosial harus dipahami dan digambarkan
bagaikan dua sisi mata uang. Satu sama lain saling melengkapi, tidaklah
dianggap sempurna apabila satu di antaranya tidak ada. Artinya bahwa dakwah dan
politik itu tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan.
Agar masyarakat muslim pada umumnya
memahami hubungan di antara keduanya, maka sudah selayaknya mereka mendapatkan
“pendidikan politik” yang memadai, sehingga keterlibatan mereka dalam politik
atau “melibatkan” mereka dalam berpolitik diharapkan atau dimungkinkan dapat
menghasilkan dampak politik yang benar dalam upaya penguatan dakwah ilallaah.
Tidak sebaliknya, terlibat atau "melibatkan" dalam politik praktis
tapi sama sekali tidak melahirkan dampak politik yang benar.
Tulisan ini merupakan salah satu
bagian kecil dari sejumlah bentuk tanggung jawab besar yang dipikul juru dakwah
dalam memberikan pemahaman kepada umat, dengan harapan mereka mampu memahami
berbagai aspek yang berkaitan dengan demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu dan
Pilkada dalam tataran ideologis, sehingga mampu menentukan pilihannya secara
tepat dan sadar (rational voters).
Konsepsi Fiqh Siyasah
Pengetahuan mengenai ruang lingkup
suatu disiplin (termasuk fiqh siyasah) dapat dilakukan dengan memahami berbagai
pengertian, baik pengertian harfiyah maupun pengertian istilah fiqh siyasah itu
sendiri. Oleh karena itu dalam makalah sederhana ini, akan diungkap beberapa
pengertian yang ditulis oleh para ulama.
Dengan pengetahuan itu, diharapkan
dapat diketahui batas-batas wilayah kajian fiqh siyasah, aspek kehidupan yang
sesuai dengan penelitian fiqh siyasah, metode yang layak menjadi alat
pendekatannya, dan kegunaan pendekatan tersebut bagi realitas kehidupan yang
sama pada waktu tempat yang berbeda. Selain itu, hubungan antara fiqh siyasah
sebagai sebuah disiplin ilmu, yang mempunyai objek, pendekatan, dan kegunaan
tertentu terhadap disiplin ilmu yang lain dapat diketahui.
A. Pengertian Fiqh
Siyasah
Fiqh Siyasah terdiri atas dua kata
berbahasa Arab; fiqh dan siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang tepat apa yang
dimaksud dengan Fiqh Siyasah, perlu dijelaskan pengertian masing–masing kata
dari segi bahasa dan istilah.
1.
Pengertian Harfiyah
Kata fiqh secara bahasa berarti paham.
Dalam pengertian, pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi
akal. (Lihat, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hal. 8).
Secara istilah, menurut ulama fiqh,
fiqh adalah
مَجْمُوْعَةُ الأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Sekumpulan hukum-hukum syara’
mengenai perbuatan yang diambil dari dalil-dalil syara yang
terperinci". (Lihat, Syarh Jam’ al-Jawami’, I:32; Syarh al-‘Adhd
li Mukhtashar Ibn al-Hajib, I:18; Syarh al-Isnawi, I:24; Mirah
al-Ushul, I:55; al-Madkhal ila Madzhab Ahmad, hal. 58.)
Dari definisi ahli fiqh terlihat
bahwa fiqh itu produk ijtihad, yaitu merupakan hukum-hukum hasil ijtihad.
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh,
fiqh adalah
العِلْمُ بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ
"Ilmu tentang hukum-hukum
syara' mengenai perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang
terperinci." (Lihat, Minhaj al-Ushul li al-Baidhawi, hal. 22; al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam li al-Amidi, I:7; Irsyad al-Fuhul li al-Syaukani,
hal. 3.)
Definisi ini sebenarnya mengadopsi
rumusan Imam as-Syafi’i dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga
sekarang.
Dari definisi para ahli ushul fiqh
di atas terlihat bahwa fiqh itu berarti ilmu tentang hukum-hukum yang diperoleh
melalui ijtihad. Dalam pengertian ini tercakup pula aktifitas ijtihad, karena
hukum-hukum tersebut diistinbathkan (disimpulkan) dari dalil-dalil syara yang
terperinci.
Adapun kata siyasah (سياسة) adalah mashdar (infinitive) bagi
kata سَاسَ يَسُوْسُ. Dalam bahasa Arab,
kata saasa sebenarnya mempunyai dua pola. Pertama, saasa-yasuusu-sausan
(سَاسَ يَسُوْسُ سَوْسًا). Kedua saasa-yasuusu-siyasatan
(سَاسَ يَسُوْسُ سِيَاسَةً).
Jadi, akar kata saasa bermakna ganda yaitu kerusakan sesuatu dan tabiat
atau sifat dasar. Dari makna yang pertama diperoleh makna leksikal menjadi
rusak atau banyak kutu, sedangkan dari makna kedua diperoleh makna memegang
kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan, mengatur atau memelihara
urusan. (Lihat, Taj al-‘Arus Min Jawahir al-Qamus, XVI:155-157)
Jadi, kata siyasah secara harfiyah
berarti mengatur, memerintah, mengendalikan, mengurus atau membuat keputusan.
Contoh dalam penggunaan kalimat:
سَاسَ الْقَوْمَ دَبَّرَهُمْ
وَتَوَلَّى أَمْرَهُمْ
Saasa al-Qaum maknanya mengatur dan memimpin urusan mereka.
Berdasarkan pengertian harfiyah,
kata as-siyasah berarti: pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan
kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasaan dan arti-arti lainnya.
Dalam hadis, kata siyasah digunakan
oleh Rasulullah ketika menyebut kepemimpinan atas Bani Israil oleh para nabi.
كَانَتْ بَنُوْ اِسْرَائِيْلَ
تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَاِنَّهُ لاَنَبِيَّ
بَعْدِيْ وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ قَالُوْا فَمَا تَأْمُرُنَا فُوْا
بَيْعَةَ اْلأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ اَلَّذِي جَعَلَهُمُ
اللهُ لَهُمْ فَاِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اْستَرْعَاهُمْ - رواه البخاري
ومسلم -
“Adalah Bani israil (dulu) dipimpin
oleh para nabi, setiap nabi wafat diganti oleh nabi yang berikutnya, dan
sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. Akan datang banyak pemimpin” Mereka
(para sahabat) bertanya, “Apa yang Engkau perintahkan kepada kami (apabila
keadaan seperti itu)?” (Nabi bersabda) Kalian harus berbai’at kepada yang
pertama lalu kepada yang berikutnya dan berikan kepada mereka haknya yang Allah
telah berikan kepada mereka, karena sesungguhnya Allah akan meminta
pertanggungjawaban tentang kepemimpinan mereka” H.r Al-Bukhari dan Muslim
(Lihat, al-Jam’ bain as-Shahihain al-Bukhari wa Muslim, III:134)
Kata siyasah digunakan pula oleh
Asma putri Abu Bakar terkait dengan pemeliharaan kuda milik az-Zubair
(suaminya)
كُنْتُ أَخْدُمُ الزُّبَيْرَ زَوْجَهَا
وَكَانَ لَهُ فَرَسٌ كُنْتُ أَسُوسُهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ مِنْ الْخِدْمَةِ
أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ سِيَاسَةِ الْفَرَسِ
“Aku melayani az-Zuber (suaminya),
dan ia punya kuda yang aku pelihara. Dan tidak ada bentuk pelayanan yang lebih
atasku daripada memelihara kuda” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad , tahqiq
Dr. Syu’aib al-Arnauth, XXXXIV:533, No. hadis 26.972
Secara tersirat, dalam pengertian
as-siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain:
(1) “tujuan” yang hendak dicapai
melalui proses pengendalian,
(2) “cara” pengendalian menuju
tujuan tersebut.
Oleh karena itu, as-siyasah pun
diartikan:
القِيامُ على الشْيءِ بما يُصْلِحُه
Memimpin sesuatu dengan cara yang
membawa kemaslahatan. (Lihat, Taj al-‘Arus Min
Jawahir al-Qamus, XVI:157)
2. Pengertian Istilah
Pengertian harfiah tidak menjelaskan
ihwal fiqh siyasah yang sesungguhnya. Tujuan apa yang dicapai dengan
pengendalikan menurut fiqh siyasah? Cara apa yang akan dipakai untuk mencapai
tujuan tersebut menurut fiqh siyasah? Dalam keadan demikian, pengertian
teknis-akademis mengenai siyasah dipandang perlu. Berkenaan dengan kebutuhan
ini, para ulama telah memberikan berbagai definisi siyasah, baik secara khusus
maupun secara umum.
a. Makna Siyasah secara khusus
Yaitu berkaitan dengan uqubah
(sanksi pidana). Dalam konteks ini dapat dikemukakan definisi siyasah
sebagaimana dinyatakan oleh Zainuddin Ibn Nujaim al-Hanafi (w. 970 H):
فِعْل شَيْءٍ مِنَ الْحَاكِمِ
لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَإِنْ لَمْ يَرِدْ بِذَلِكَ الْفِعْل دَلِيلٌ جُزْئِيٌّ
Siyasah adalah kebijakan yang
diambil hakim untuk mewujudkan kemaslahatan yang diyakininya. Sekalipun
kebijakanya itu tidak ada dalilnya secara khusus.( Lihat, al-Bahr ar-Raiq
Syarh Kanz ad-Daqaiq, V:11)
b. Makna Siyasah secara Umum
Yaitu berkaitan dengan daulah
(kenegaraan/pemerintahan) dan sulthah (kekuasaan). Dalam konteks ini
dapat dikemukakan definisi siyasah sebagai berikut:
Ibn ‘Aqil, ahli fiqh bermadzhab
Hanbali (w. 513 H), sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim, mendefinisikan:
مَا كَانَ فِعْلاً يَكُوْنُ مَعَهُ
النَّاسُ أَقْرَبَ إِلَى الصَّلاَحِ وَأَبْعَدَ عَنِ الْفَسَادِ وَإِنْ لَمْ
يَضَعْهُ الرَّسُوْلُ وَلاَ نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ
Siyasah adalah segala perbuatan yang
membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari
kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah swt
tidak menentukannya.( Lihat, at-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah
as-Syar’iyyah, hal. 29)
Dalam I’lam al-Muwaqqi’ien,
IV:372, digunakan redaksi
مَا كَانَ مِنَ الأَفْعَالِ بِحَيْثُ
يَكُوْنُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إِلَى الصَّلاَحِ وَأَبْعَدَ عَنِ الْفَسَادِ
وَإِنْ لَمْ يَشْرَعْهُ الرَّسُوْلُ وَلاَ نَزَلَ بِهِ الْوَحْيُ
Ibn ‘Abiddin, ahli fiqh bermadzhab
Hanafi (w. 1252 H) memberi batasan:
اسْتِصْلاَحُ الْخَلْقِ بِإِرْشَادِهِمْ
إِلَى الطَّرِيقِ الْمُنَجِّي فِي الْعَاجِل وَالآْجِل فَهِيَ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ
عَلَى الْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ فِي ظَاهِرِهِمْ وَبَاطِنِهِمْ ، وَمِنْ
السَّلَاطِينِ وَالْمُلُوكِ عَلَى كُلٍّ مِنْهُمْ فِي ظَاهِرِهِ لَا غَيْرُ ،
وَمِنْ الْعُلَمَاءِ وَرَثَةِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَى الْخَاصَّةِ فِي بَاطِنِهِمْ
لَا غَيْرُ
Siyasah adalah kemaslahatan untuk
manusia dengan menunjukannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia
maupun di akhirat. Siyasah berasal daripada Nabi, baik secara khusus maupun
secara umum, baik secara lahir maupun secara batin. Segi lahir siyasah berasal
dari para pemegang kekuasaan (para sulthan dan raja) bukan dari ulama;
sedangkan secara batin siyasah berasal dari ulama pewaris Nabi bukan dari
pemegang kekuasaan. (Lihat, Hasyiah Ibn Abiddin atau Hasyiah Radd
al-Mukhtar ala ad-Dar al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar Fiqh Abu Hanifah,
IV:15)
Dr. Ahmad Fathi Bahansi
mendefinisikan secara ringkas:
تَدْبِيْرُ مَصَالِحِ الْعِبَادِ
عَلَى وَفْقِ الشَّرْعِ
Siyasah adalah pengurusan
kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara. (Lihat, al-siyasah
al-jinaiyyah fi al-syari'ah al-Islamiyah, hal. 25)
Aspek fiqh dari siyasah syar’iyyah
tampak pada batasan yang diajukan oleh Prof. Dr. Abd Wahab al-Khalaf:
تَدْبِيْرُ الشُّئُوْنِ الْعَامَّةِ
لِلدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ بِمَا يَكْفُلُ تَحْقِيْقَ الْمَصَالِحِ وَدَفْعَ
الْمَضَارِّ مِمَّا لاَ يَتَعَدَّى حُدُوْدَ الشَّرِيْعَةِ وَأُصُوْلَهَا
الْكُلِيَّةَ، وَإِنْ لَمْ يَتَّفِقْ أَقْوَالَ الأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ
Siyasah syar’iyyah ialah pengurusan
hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin
perwujudan kemaslahatan dan penolakan kemadlaratan dengan tidak melampaui
batas-batas syari’ah dan pokok-pokok syari’ah yang kully, meskipun tidak sesuai
dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid. (Lihat, as-Siyasah as-Syar’iyyah
karya Abd Wahab al-Khalaf, hal.15)
Maksud masalah umum negara antara
lain adalah;
- Pengaturan perundangan-undangan negara
- Kebijakan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan.
- Penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan
- Urusan dalam dan luar negeri.
Maksud dari perkataan:
وَإِنْ لَمْ يَتَّفِقْ أَقْوَالَ
الأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ
“sekalipun tidak sejalan dengan para
alim mujtahid” adalah mengambil kebijaksanaan politik (siyasah syar’iyyah)
bukan hanya tugas para ulama terdahulu saja. Bahkan setiap alim ulama yang luas
ilmunya boleh berijtihad dalam memecahkan problematika yang sedang dihadapi
umat dengan batasan-batasan yang telah disebutkan di atas.
Oleh karena itu Abdul Wahhab Khallaf
mengatakan: “Siyasah syar’iyyah termasuk usaha mewujudkan maslahat mursalah.
Karena maslahat mursalah adalah maslahat yang tidak ditetapkan secara khusus
oleh agama”.
Berdasarkan pembahasan atas ayat 58
dan 59 surat an-Nisa’, Ibn Taymiyah mengisyaratkan unsur-unsur yang terlibat
dalam proses siyasah: Ulama menyatakan, bahwa ayat pertama (an-Nisa’: 58)
berkaitan dengan pemegang kekuasaan, yang berkewajiban menyampaikan amanat
kepada yang berhak dan menghukumi dengan cara yang adil; sedangkan ayat
kedua (an-Nisa’: 59) berhubungan dengan rakyat, baik militer maupun non militer
(Lihat, as-Siyasah as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyyah, hal.
4)
Berbagai definisi di atas
menunjukkan bahwa siyasah syar’iyyah mengisyaratkan dua unsur yang berhubungan
secara timbal balik, yaitu: (1) pihak yang mengatur; (2) pihak yang diatur.
Dilihat dari unsur-unsur yang
terlihat dalam proses siyasah syar’iyyah, maka ilmu ini “mirip” dengan ilmu
politik, seperti dikatakan Wirjono Prodjodikoro: Dua unsur penting dalam bidang
politik yaitu: (1) negara yang pemerintahannya bersifat eksklusif dan (2) unsur
masyarakat.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi
fungsi, siyasah syar’iyyah berbeda dengan politik. Siyasah syar’iyyah tidak
hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang
sama menjalankan fungsi pengarahan (ishlah). Sebaliknya politik (politique)
dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah) bukan
pengarahan (ishlah).
Perbedaan demikian tampak manakala
disadari bahwa pelaksanaan ketatanegaraan berdasarkan perspektif fiqh Islam
terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan syara’,
sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syari’ah yang kully. Oleh karena
itu, dikalangan kaum muslimin, politik yang bertumpu pada adat-istiadat atau
pengalaman hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi semata dikenal
dengan istilah siyasah wadh’iyyah.
Perbedaan antara siyasah syar’iyyah
dipihak yang satu dengan siyasah wadh’iyyah dipihak yang lain, tentu saja tidak
harus difahami secara dikotomis. Dalam banyak kasus, siyasah wadh’iyyah yang
tidak bertentangan, sekalipun tidak sama, dengan siyasah syar’iyyah diterima
keberadaannya oleh kaum muslimin. Singkatnya, tidak semua siyasah wadh’iyyah
atau politique bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Sebagaimana tersimak dari pernyataan
Ibn al-Qayyim, siyasah syar’iyyah adalah siyasah mengacu kepada syara’. Berarti
mekanisme pengendalian dan pengarahan kehidupan umat, terkait keharusan moral
dan politis untuk senantiasa mewujudkan keadilan, keramahan, kemaslahatan, dan
kehikmahan. Hal ini merupakan akibat langsung dari ciri-ciri yang melekat pada
syariat Islam itu sendiri, yaitu: Seluruhnya adil, rahmat, mashlahat, dan
mengandung hikmah; setiap masalah yang keluar dari keadilan menjadi kezhaliman,
dari rahmat menjadi laknat, dari mashlahat menjadi mafsadat, dari yang
mengandung hikmah menjadi sia-sia bukanlah syari’ah.
Hal yang sama berlaku pula pada
bidang siyasah. Tanpa prinsip-prinsip itu, ihwal pengendalian dan pengarahan
kehidupan umat tidak dapat disebut sebagai siyasah syar’iyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar