Tiba-tiba, Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan, Rayuan
umbuk dan umbai silih berganti, Melantang menyambar api kalimah hak dari
mulutmu, Yang biasa bersenandung itu, Seakan tak terhiraukan olehmu
bahaya mengancam. Aku tersentak, Darahku berdebar, Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur. Pancangkan! Pancangkan olehmu, wahai Bilal!
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid, Walau karihal kafirun… Berjuta
kawan sefaham bersiap masuk Kedalam ”daftarmu” (Puisi Mohammad Natsir
kepada Hamka, 23 Mei 1959)
Mobil Chevrolet Impala produk
Amerika itu terparkir di depan rumah sederhana Natsir. Mobil tersebut
tergolong mewah pada zamannya. Mobil buatan USA itu akan diberikan
kepada Natsir ( yang saat itu menjadi anggota parlemen ). Sitti
Muchliesah bersama empat adik dan sepupunya mendengar pembicaraan
ayahnya dengan seorang tamu dari Medan. Mereka sangat bahagia karena
sebentar lagi mobil mewah akan menjadi milik keluarga. Mereka
membayangkan betapa nyamannya mengendarai mobil yang jauh lebih mahal
dibanding mobil Natsir saat itu, yakni mobil bermerek DeSoto yang sudah
kusam. Namun harapan keluarga memiliki mobil mewah pudar ketika Ayahnya
dengan bahasa yang halus menolak pemberian mobil tersebut.
“Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri
nikmat.” begitulah pesan Natsir yang selalu disampaikan pada
anak-anaknya. kesederhanaan itu pun Ia tunjukkan ketika menjadi pejabat
negara. Ia menumpang tinggal di rumah sahabatnya dengan perabot
seadanya. Bukan hanya itu, bahkan Natsir tidak malu menggunakan jas
tambal, sedang Ia adalah seorang menteri. “Pakaiannya sungguh tidak
menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Kahin dalam
buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir.
Contoh
lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar pula oleh
Amien Rais. Ketika masih mahasiswa, ia mendengar cerita Khusni Muis yang
pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Khusni
menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai (saat itu
Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Ketika hendak pulang
ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir. Tujuannya meminjam uang untuk
ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak punya uang karena belum
gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang ia
pimpin. “Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang,
tidak masuk akal,” ujar Amien.
Ketika Natsir mundur dari
jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya, Maria
Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis. Saldonya cukup banyak.
Maria mengatakan bahwa dana itu menjadi hak perdana menteri. Tapi Natsir
menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa
sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya.
Dia juga
pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Setelah itu, ia
pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya pindah lagi ke
rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan perdana menteri.
Natsir kembali pada kehidupan semulanya, kehidupan yang sebenarnya tidak
pernah berubah, yakni hidup dengan sederhana dan penuh rasa syukur.
Menjadi seorang menteri merupakan amanah dan tugas pengabdian, bukan
momentum perkaya diri.
Teladan Natsir sebagai negarawan
bukan hanya tentang kesederhanaan. Perannya terhadap bangsa ini cukup
vital, Ia berhasil mendirikan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Upayanya dalam penyatuan negara tidak mudah. Natsir mengaku, “Dua
setengah bulan saya melakukan lobi, terutama dengan negara-negara bagian
di luar Jawa”. Natsir tidak hanya melobi politisi islam, tetapi juga
dari partai katholik, partai kristen dan dari PKI. Natsir pergi ke
daerah-daerah untuk melakukan pendekatan dan mengetahui pendapat mereka.
Ini yang dikenal dengan “Mosi Integral Natsir”.
Melalui
“Mosi Integral”, Natsir telah menyatukan wilayah bagian nusantara yang
telah terpecah belah ke dalam beberapa negara bagian hasil buatan
Belanda, kembali menjadi negara kesatuan. Nurcholis Madjid menilai,
“Mosi Integral Natsir merupakan kebijakan seorang pemimpin yang mampu
menerobos masa-masa mendatang serta berhasil mengantisipasi perkembangan
bangsa dan negaranya dengan pandangan yang jauh dan strategis.”
“Meskipun bersilang keris di leher Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar” (Puisi Hamka untuk Natsir, 1959)
Sebuah puisi apresiatif yang ditujukan untuk kegigihan
Natsir dalam memerjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dalam sidang
pleno konstituante, dengan tegas Natsir menyatakan bahwa “Indonesia
hanya mempunyai dua alternatif pilihan sebagai dasar negara : paham
sekularisme (la diniyah) atau paham agama (diniy)”. Argumentasinya
tentang dasar negara mendapat pertentangan dari berbagai pihak, termasuk
Soekarno.
Dan pemilu 2014 adalah lanjutan perang
ideologi bangsa ini. Perang yang telah Natsir alami sebelum negeri ini
mengenal pemilu. Natsir adalah teladan politik yang pernah dimiliki
bangsa ini. Kiprah Natsir sebagai seorang negarawan adalah referensi
mahal bagi bangsa ini. perjuangannya adalah pesan abadi yang tidak hanya
berlaku untuk waktu tertentu. Dan bagi kita, sudah seharusnya
menjadikan sejarah sebagai referensi masa depan. Bukan sebagai masa yang
hanya berlalu melintasi buku-buku para sejarawan.
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya
terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan
kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka
inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau…
Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja
ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan
menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan
pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula
mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul
penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat
serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan
memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.” (Jangan
Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut, M. Natsir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar